Protein hewani Mereka memainkan peran penting dalam pola makan kita dan, khususnya, dalam pemeliharaan dan pengembangan jaringan otot. Namun, peningkatan produksi dan konsumsi menimbulkan perdebatan penting mengenai keberlanjutan dan keberlanjutan dampak lingkungan. Artikel ini membahas implikasi nutrisi dan ekologi dari konsumsi protein hewani, dan mengapa kita perlu mempertimbangkan kembali pilihan makanan kita dalam konteks perubahan iklim.
Peran protein dalam makanan kita
Protein diperlukan untuk berfungsinya tubuh manusia. Selain itu, atlet, orang yang ingin menurunkan berat badan atau sekadar menjaga gaya hidup sehat, cenderung memperbanyak asupan protein. Namun, sebagian besar protein tersebut, terutama yang berasal dari hewan, memiliki kadar yang tinggi biaya lingkungan.
Peningkatan konsumsi ini sejalan dengan masalah demografi: diperkirakan pada tahun 2050, dunia akan dihuni oleh 9,6 miliar jiwa. Mempertahankan tingkat produksi protein hewani untuk memenuhi permintaan ini tidak dapat dilakukan dari sudut pandang ekologi. Saat ini, 70% lahan subur dan 40% serealia ditujukan untuk produksi peternakan.
Dampak lingkungan dari produksi protein hewani
Salah satu dampak paling mencolok dari konsumsi protein hewani adalah jejak air. Memproduksi satu kilo daging sapi, misalnya, membutuhkan hingga 15.000 liter air, menurut laporan UNESCO. Penggunaan sumber daya yang sangat besar ini membuat peternakan skala besar menjadi tidak berkelanjutan. Situasi ini menjadi lebih serius jika kita mempertimbangkan bahwa sebagian besar air tersebut diperuntukkan bagi tanaman yang secara langsung memberi makan hewan, bukan manusia.
Selain air, Anda membutuhkannya sumber daya energi besar-besaran untuk menghasilkan daging. Misalnya, untuk memperoleh satu kilogram daging sapi, harus dikonsumsi hingga 7 kilogram sereal, sehingga menghasilkan kinerja energi yang rendah. Dalam siklus hidupnya, seekor sapi dapat mengonsumsi hingga 1300 kg gabah sebelum disembelih.
Dari sudut pandang gas-gas rumah kaca, peternakan intensif juga memainkan peran penting. Hewan ruminansia, seperti sapi dan domba, bertanggung jawab melepaskan metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Emisi ini memperburuk krisis iklim, pada saat yang sama produksi daging industri menyumbang 56-58% emisi global dari sektor pangan.
Perbandingan dengan protein nabati
Mengingat panorama ini, transisi menuju pola makan berbasis protein nabati. Protein nabati tidak hanya memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah, namun juga merupakan alternatif yang lebih berkelanjutan. Studi terbaru, seperti yang dilakukan oleh Universitas Oxford pada tahun 2018, menunjukkan bahwa peralihan ke produk nabati dapat mengurangi dampak daging terhadap iklim hingga 92%.
Misalnya budidaya kacang polong o kacang-kacangan untuk konsumsi manusia memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih rendah dibandingkan peternakan hewan. Sayuran membutuhkan lebih sedikit tanah dan air, serta mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca untuk setiap gram protein yang dihasilkannya.
Selanjutnya penelitian di jurnal Ilmu menyimpulkan bahwa, dalam hal emisi gas rumah kaca, produk tanaman memiliki dampak sepuluh kali lebih rendah dibandingkan produk hewani. Oleh karena itu, pola makan nabati tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga menawarkan manfaat kesehatan.
Namun, mengubah seluruh produksi peternakan ke tanaman sayuran bukanlah solusi yang mudah. Para ahli seperti Pablo Manzano, dari Pusat Perubahan Iklim Basque, menyoroti bahwa ternak yang luas, berdasarkan penggembalaan, memainkan peran positif dalam keanekaragaman hayati dan pemanfaatan wilayah secara berkelanjutan. Sementara itu peternakan industri mempunyai dampak negatif yang tinggi, peternakan secara ekstensif dapat menjadi bagian dari solusi terpadu.
Solusi dan usulan untuk memitigasi dampaknya
Meskipun peralihan menuju sistem pangan yang lebih ramah lingkungan merupakan hal yang rumit, ada beberapa hal yang perlu dilakukan inisiatif yang berupaya mengurangi dampak lingkungan dari produksi protein hewani. Salah satunya adalah perbaikan pengelolaan sumber daya di dalam peternakan. Misalnya, kemajuan telah dicapai konversi pakan, yang telah mencapai bahwa lebih sedikit pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan daging atau produk turunannya dalam jumlah yang sama, seperti telur.
Selain itu, beberapa industri juga memperkenalkannya biofuel terbuat dari produk sampingan hewani, yang berkontribusi terhadap pengurangan emisi CO2 global yang dihasilkan di pabrik pengolahan. Di sisi lain, daur ulang sampah juga memainkan peran mendasar, mengubah sampah organik menjadi biodiesel atau pupuk.
Selain itu, alternatif sedang dikembangkan yang dapat mengubah permainan, seperti daging berbudaya dan fermentasi presisi. Kemajuan teknologi ini dapat menawarkan protein dengan profil nutrisi yang sama seperti protein hewani, namun dengan dampak lingkungan yang lebih rendah.
Seiring dengan pertumbuhan populasi dunia, isu dampak protein hewani terhadap lingkungan menjadi semakin mendesak. Penting untuk menemukan keseimbangan antara memenuhi permintaan pangan dan melindungi sumber daya alam bumi. Mengurangi konsumsi daging di negara-negara yang konsumsi dagingnya tinggi dan mendorong produksi ternak berkelanjutan merupakan langkah mendasar menuju solusi.