Biofuel dan dampaknya terhadap ketahanan pangan: Apa yang bisa kita harapkan?

  • Permintaan biofuel bersaing langsung dengan produksi pangan.
  • Deforestasi dan penggunaan lahan secara intensif untuk biofuel meningkatkan risiko lingkungan.
  • Kebijakan internasional dan teknologi baru diperlukan untuk mengurangi dampak ini.

Risiko makanan biofuel

Permintaan untuk Jagung kuning terus meningkat setiap tahunnya dan salah satu aplikasi utamanya saat ini adalah produksi biofuel. Biofuel merupakan sumber energi terbarukan yang diusung sebagai solusi permasalahan ketergantungan energi dan perubahan iklim. Namun, penggunaan ini menciptakan persaingan langsung dengan produksi pangan, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pangan keamanan makanan.

Dampak biofuel terhadap ketahanan pangan

Dalam laporan FAO «Masa Depan Pangan dan Pertanian: Tren dan Tantangan«FAO membuat analisis mendalam mengenai dampak yang akan ditimbulkan oleh sektor pertanian dan energi di masa depan. Diperkirakan pada tahun 2050, produksi pertanian harus meningkat sebesar 50% untuk dapat memenuhi permintaan pangan dan biofuel. Artinya, peningkatan produksi pertanian yang ditujukan untuk biofuel pasti akan mempengaruhi ketersediaan pangan.

Dampak dari penggunaan lahan yang luas untuk budidaya bahan baku biofuel seringkali berdampak negatif terhadap stabilitas harga pangan dan ekosistem lokal. Persaingan antara produksi pangan dan bahan bakar menimbulkan tekanan pada pasar pertanian, yang secara langsung berdampak pada biaya dan ketahanan pangan. Dalam kasus jagung, yang sebagian besar digunakan untuk membuat etanol, konflik ini telah menaikkan harga dan mengurangi jumlah produksi yang ditujukan untuk konsumsi manusia atau hewan.

Deforestasi dan perubahan penggunaan lahan

penyebab dan akibat deforestasi di dunia

kegagalan

Salah satu dampak serius dari peningkatan produksi biofuel adalah penggundulan hutan. Untuk mengalokasikan lebih banyak wilayah untuk budidaya bahan mentah biofuel, banyak daerah yang terpaksa membuka hutan. Hal ini menimbulkan dampak kontraproduktif terhadap perubahan iklim, karena pohon yang ditebang tidak lagi menyerap karbon dioksida (CO2), yang merupakan gas rumah kaca yang kuat.

Selama beberapa tahun terakhir, wilayah tropis dan subtropis telah mengalami kehilangan hutan sebesar 7 juta hektar per tahun, sementara wilayah pertanian meningkat sebesar 6 juta hektar per tahun, menurut data FAO. Luasnya lahan yang digunakan untuk pertanian sebagian besar ditujukan untuk produksi biofuel dan bukan untuk produksi pangan.

Deforestasi untuk meningkatkan produksi biofuel tidak hanya berdampak pada hutan, namun juga keanekaragaman hayati dan sumber daya air, yang memperburuk masalah pertanian dan stabilitas ekosistem.

Persaingan antar tanaman untuk mendapatkan pangan dan biofuel

Komite Ketahanan Pangan Dunia (CFS) telah memperingatkan bahwa meningkatnya persaingan untuk mendapatkan lahan pertanian dapat berdampak negatif pada negara-negara kurang berkembang, dimana sumber daya pertanian terbatas dan masyarakatnya menderita tingkat kemiskinan dan kelaparan yang lebih tinggi. CFS menekankan bahwa, terutama sejak tahun 2013, pengalokasian lahan yang cocok untuk menanam pangan untuk produksi biofuel telah menghasilkan dampak yang besar. persaingan tidak sehat, yang dapat memperburuk masalah sosial dan lingkungan.

Selain menyebabkan kenaikan harga pangan, persaingan memperebutkan lahan juga berdampak langsung pada kemiskinan pedesaan. Banyak petani lebih memilih menanam bahan baku biofuel (yang dapat memberikan pendapatan lebih tinggi) dibandingkan pangan, karena biofuel sering kali lebih menguntungkan berkat subsidi pemerintah. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya produksi pangan lokal dan meningkatkan ketergantungan terhadap impor untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.

Solusi yang mungkin dilakukan: kebijakan internasional dan teknologi baru

biofuel generasi kedua dan ketiga

Tidak semua biofuel itu sama, baik dari segi efisiensi energi serta dampaknya terhadap pertanian dan ketahanan pangan. Teknologi dari generasi kedua, misalnya, yang menggunakan limbah pertanian atau biomassa yang tidak dapat dimakan, merupakan peluang untuk mengurangi persaingan antara pangan dan energi. Namun penerapannya dalam skala besar masih dalam tahap awal pengembangan.

Untuk mengurangi dampak biofuel terhadap ketahanan pangan, Diperlukan kebijakan internasional yang kuat yang mengatur penggunaan lahan, mendorong pengembangan teknologi biofuel canggih dan memfasilitasi investasi dalam pertanian berkelanjutan. Beberapa opsi termasuk penggunaan lahan terdegradasi untuk budidaya biofuel atau rotasi tanaman yang memungkinkan petani menyeimbangkan produksi pangan dengan produksi energi.

Masa depan biofuel harus dikaitkan dengan kombinasi teknologi yang lebih ramah lingkungan dan kebijakan pertanian berkelanjutan yang melindungi ketahanan pangan global. Promosi biofuel harus dilakukan dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan kebutuhan energi dan pangan dari populasi global yang terus bertambah.


tinggalkan Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai dengan *

*

*

  1. Penanggung jawab data: Miguel Ángel Gatón
  2. Tujuan data: Mengontrol SPAM, manajemen komentar.
  3. Legitimasi: Persetujuan Anda
  4. Komunikasi data: Data tidak akan dikomunikasikan kepada pihak ketiga kecuali dengan kewajiban hukum.
  5. Penyimpanan data: Basis data dihosting oleh Occentus Networks (UE)
  6. Hak: Anda dapat membatasi, memulihkan, dan menghapus informasi Anda kapan saja.