Ada banyak komunitas dan masyarakat di seluruh dunia yang tidak memiliki listrik. Pada abad ke-21, hampir mustahil membayangkan kehidupan tanpa listrik: tanpa bisa menggunakan ponsel, internet, mendinginkan makanan, atau bahkan hal-hal mendasar seperti penerangan di malam hari. Bagi komunitas-komunitas ini, kurangnya penerangan tidak hanya berdampak pada kualitas hidup, namun juga kesehatan dan pendidikan. Memahami kenyataan ini telah mengarah pada pencarian solusi inovatif yang memungkinkan cahaya disalurkan ke tempat-tempat ini dengan cara yang berkelanjutan.
Salah satu penemuan revolusioner ini adalah tanaman lampu, yang muncul sebagai alternatif berkelanjutan untuk memberikan penerangan bagi komunitas adat Amerika Latin.
Memperoleh cahaya melalui tumbuhan
La tanaman lampu adalah perangkat inovatif yang menggunakan fotosintesis tanaman untuk menghasilkan listrik. Berdasarkan prinsip biodesign, perangkat ini berhasil menerangi lampu LED hingga 300 lumens, yang kira-kira setara dengan bola lampu 50 watt. Penemuan ini berupaya untuk menjawab kebutuhan masyarakat seperti etnis Shipibo Conibo di Nuevo Saposoa, daerah terpencil di Amazon Peru dengan akses terbatas terhadap sumber daya energi.
Nuevo Saposoa adalah komunitas yang terdiri dari 137 keluarga dan sekitar 37 jiwa. Letaknya di kawasan yang sulit diakses, karena Anda harus mengarungi sungai di kawasan itu selama lima jam untuk sampai ke sana. Sebelum badai menghancurkan infrastruktur kelistrikan, mereka mempunyai listrik, namun sejak itu mereka hidup dalam kegelapan, hal yang biasa terjadi di beberapa wilayah Amazon, di mana 42% penduduknya tidak memiliki akses terhadap listrik.
Menyikapi situasi tersebut, tim peneliti di Universitas Teknik dan Teknologi (UTEC) di Lima, Peru, memulai proyek untuk menganalisis kualitas tanah dan air di wilayah tersebut, guna merancang solusi berdasarkan vegetasi lokal. Dari sinilah tanaman lampu lahir.
Pengoperasian lampu penanam
Pengoperasian pabrik lampu didasarkan pada proses alami: fotosintesis. Selama fotosintesis, tanaman menyerap CO2 dan melepaskan oksigen, sementara akar mengeluarkan nutrisi berlebih. Limbah tanaman ini dimanfaatkan oleh geobakteri, mikroorganisme yang ada di dalam tanah yang hidup tanpa oksigen. Dengan mengonsumsi nutrisi, geobakteri menghasilkan elektron, yang ditangkap oleh elektroda yang ditempatkan di kotak kayu tempat tanaman ditanam.
Dengan cara ini, elektroda mengubah energi yang dilepaskan bakteri menjadi listrik yang disimpan dalam baterai. Baterai yang diisi ulang pada siang hari ini dapat memberi daya maksimal pada lampu LED dua jam, cukup untuk menerangi ruangan berukuran sedang.
Perangkat ini tidak hanya merupakan alternatif terbarukan, namun juga ramah lingkungan karena mampu melawan penggunaan metode yang tidak sehat seperti lampu minyak tanah, yang menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan. Secara khusus, teknologi ini dirancang agar anak-anak dapat belajar dalam kegelapan, keluarga dapat memasak dengan aman, atau agar aktivitas sehari-hari tidak terpengaruh oleh minimnya cahaya.
Investigasi dan pengembangan
universitas Wageningen, di Belanda, telah mengembangkan sistem serupa yang disebut Tanam-e. Proyek ini didasarkan pada prinsip yang sama yaitu menangkap elektron yang dihasilkan oleh bakteri yang hidup di akar tanaman. Sistem ini membutuhkan tanaman di tanah lembab atau di ember berisi air, yang merupakan lingkungan ideal untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini membuka kemungkinan bahwa lebih banyak masyarakat dapat memperoleh manfaat dari penggunaan pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik secara mandiri.
Selain itu, meskipun kita memiliki beragam spesies tumbuhan, tidak semua tumbuhan menghasilkan jumlah energi yang sama. Yang lebih besar dan berakar berbonggol, seperti patatas, biasanya lebih efisien dalam produksi energi.
Dampak sosial dan keberlanjutan
Penerima manfaat pertama dari tanaman lampu ini adalah keluarga Saposoa Baru. Penciptaan perangkat ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup mereka dengan memungkinkan aktivitas malam hari, namun juga memberikan dampak positif pada pendidikan anak-anak, yang kini dapat belajar dalam kegelapan.
Proyek ini diintegrasikan ke dalam inisiatif yang lebih besar yang disebut Nyalakan hutan, dipimpin oleh UTEC, yang berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya cahaya dan akses terhadap listrik di wilayah paling terpencil di dunia. Itu 'tanaman lampu' Alat-alat tersebut dikirim ke masyarakat lokal pada bulan Oktober, setelah dilakukan penelitian ekstensif terhadap kualitas tanah, air dan flora lokal, yang memungkinkan terciptanya perangkat yang disesuaikan dengan kondisi spesifik daerah tersebut.
Tujuan akhir dari perkembangan teknologi ini adalah untuk memastikan bahwa masyarakat terpencil dapat mengakses sumber energi yang bersih dan terbarukan., memanfaatkan sumber daya alam lokal secara berkelanjutan dan tanpa merusak lingkungan.
Jenis inovasi ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknik dapat memecahkan tantangan sosial, memberikan solusi yang berkelanjutan dan dapat diakses oleh masyarakat terpencil. Masa depan energi terbarukan mungkin lebih dekat dari yang kita kira, berkat kemampuan tanaman menghasilkan cahaya.