Dalam rangka peringatan dua puluh lima tahun Bencana nuklir Chernobyl, sekelompok 10 kepribadian yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian, menyatakan posisi mereka menentang penggunaan energi nuklir sebagai sumber energi. Fakta ini telah menimbulkan perdebatan global mengenai kelayakan dan potensi destruktif sumber energi ini, tidak hanya karena bencana alam yang dapat terjadi tetapi juga karena tidak bertanggung jawabnya manusia dalam pengelolaannya.
Surat menentang energi nuklir
Para pemenang Hadiah Nobel Perdamaian menyiapkan surat terbuka yang ditujukan kepada para pemimpin dunia dan otoritas negara-negara yang mengembangkan dan menggunakan energi nuklir. Secara total, 31 negara menerima surat ini, yang meminta penghentian total penggunaan energi nuklir energi terbarukan. Di antara negara penerima adalah:
- Argentina, Brasil, dan Meksiko
- Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang, Tiongkok, dan Rusia
- Inggris, Spanyol dan Ukraina
- Korea Selatan, Kanada, Pakistan, dan India
Negara-negara ini mewakili sebagian besar produksi energi nuklir global. Negara-negara penandatangan meminta komitmen tegas untuk mengesampingkan sumber energi ini dan memilih alternatif yang lebih aman, seperti Energia Surya dan tenaga angin.
Ancaman limbah radioaktif
Salah satu argumen utama yang disampaikan dalam surat ini adalah bahaya yang ditimbulkan oleh limbah nuklir, terutama konflik dengan penyimpanan amannya. Saat ini, limbah nuklir sangat menimbulkan polusi dan mengandung plutonium, bahan beracun yang dapat tetap aktif selama ribuan tahun.
Meskipun terdapat investasi dalam penelitian solusi penyimpanan limbah ini, solusi yang benar-benar aman belum ditemukan. Hingga saat ini, sampah terus menumpuk sehingga meningkatkan risiko kebocoran radioaktif atau sabotase yang membahayakan umat manusia.
Energi nuklir dan senjata nuklir
Aspek penting lainnya yang dibahas adalah hubungan antara energi nuklir dan proliferasi senjata nuklir. Masalah ini sering diabaikan oleh para pendukung energi nuklir, namun kenyataannya adalah proses yang memfasilitasi energi nuklir juga dapat digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Kasus Iran, yang telah terkena sanksi dan pemeriksaan internasional yang intensif, menunjukkan betapa mudahnya mengubah program nuklir damai menjadi program militer. Kemungkinan serangan teroris terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan faktor lain yang menimbulkan kekhawatiran di tingkat global.
Kecelakaan dan bahaya alam
Surat tersebut juga mengacu pada berbagai kecelakaan nuklir yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang paling dahsyat adalah kecelakaan yang terjadi pada tahun 2016 Chernobyl di bekas Uni Soviet (saat ini Ukraina), Fukushima di Jepang dan Three Mile Island di Amerika Serikat. Selain itu, risiko terjadinya bencana serupa lainnya masih bersifat laten, terutama di wilayah rawan gempa bumi atau tsunami.
Kecelakaan Fukushima, yang terjadi setelah tsunami dahsyat pada bulan Maret 2011, menunjukkan bahwa bahkan di negara-negara maju dan berteknologi maju, ancaman bencana nuklir adalah nyata dan merupakan bencana besar. Faktanya, hingga saat ini, Jepang terus berjuang untuk menghilangkan dampak radiasi terhadap penduduk dan lingkungan alamnya.
Alternatif untuk energi nuklir
Menurut pemenang Hadiah Nobel Perdamaian ini, masa depan energi harus fokus pada pengembangan sumber daya yang bersih dan aman, seperti Energia Surya dan tenaga angin. Selama periode lima tahun sebelum tahun 2010, produksi energi dari angin dan matahari jauh melebihi produksi energi nuklir.
Selain menjadi pilihan yang lebih aman, energi terbarukan juga menghasilkan lapangan kerja, tidak melepaskan limbah radioaktif, dan tidak menimbulkan risiko yang terkait dengan proliferasi nuklir. Kemajuan teknologi di bidang ini telah menjadikan alternatif ini menguntungkan secara ekonomi di banyak negara, sehingga memberikan peluang yang layak untuk menggantikan energi nuklir.
Beberapa negara telah memulai transisi menuju sumber energi ini. Jerman, khususnya, telah memimpin gerakan ini melalui kebijakan energinya yang disebut “Energiewende”, yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan energi nuklir dan fosil secara drastis pada tahun 2050.
IAEA dan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2005
Penting untuk diingat bahwa pada tahun 2005, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) diakui dengan Hadiah Nobel Perdamaian atas upayanya mencegah penggunaan energi nuklir untuk tujuan militer. Namun keputusan ini mendapat kritik dari beberapa organisasi lingkungan hidup, yang berpendapat bahwa IAEA tidak secara signifikan memperbaiki situasi keamanan nuklir atau mencegah proliferasi senjata.
Kritik juga menunjukkan bahwa IAEA meminimalkan dampak kecelakaan Chernobyl dan gagal membendung konflik nuklir antara negara-negara seperti India dan Pakistan, dua negara yang telah mengembangkan persenjataan nuklir.
Saat ini, energi nuklir Hal ini masih menjadi topik konflik antara pihak yang mendukung dan menentang hal ini, namun suara-suara yang menentang hal ini, seperti suara para pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, terus bergema di seluruh dunia yang menyerukan peninjauan kembali penggunaan kekuatan ini demi kepentingan alternatif yang lebih aman bagi generasi mendatang.